Pengertian
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut
pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Lebih
lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, yakni konsumen antara dan
konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka
membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan
pengguna barang adalah konsumen akhir.
Yang
dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen
akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan
untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain
dan makhluk hidup lain.
Sedangkan
dalam ilmu ekonomi ada 2 cara dalam memperoleh barang, yaitu:
·
Membeli, Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu ia
terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh
perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
·
Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang
kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan
pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu
perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk
peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK.
AZAS DAN TUJUAN
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan
konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan
kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah:
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.Sedangkan
asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UU PK adalah:
Asas
manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
Asas
keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai
hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini
konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya
secara seimbang.
Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas
kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum
HAK DAN KEWAJIBAN
KONSUMEN
Hak-hak
Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen
adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen
adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
HAK
DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
· hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
· hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
· hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
· hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
· beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya
· memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
· memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
· menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
· memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan
· memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
· memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.Kewajiban-kewajiban
pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab
pelaku usaha yang akan kita bahas nanti.
PERILAKU YANG
DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 –
17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok,
yakni:
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari
kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha
dalam kegiatan produksi.
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK:
· yakni
pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
· tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
· tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
· tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
· tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
· tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
· tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
· tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
· tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
· tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur
melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku
usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang
disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas
dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak
berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda
tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan
tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu
diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Bila
kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran
ayat (3). Ternyata untuk pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang
lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini
berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya
peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
KLAUSULA
BAKU
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan
sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen
lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Klausula
Baku yang dilarang UU
Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku
usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan
sebagai berikut :
1.
Pengalihan
tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen
2.
Pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
3.
Pelaku
usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang
dibeli oleh konsumen
4.
Pemberian
kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli secara angsuran
5.
Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen
6.
Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
7.
Tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan /
atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8.
Konsumen
memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
TANGGUNG JAWAB PELAKU
USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha
ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal
28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian,
sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di
dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud
untuk diedarkan
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat
jangka waktu yang diperjanjikan.
SANKSI PELAKU USAHA
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Masyarakat
boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya
yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak
sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU
Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan
milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan
barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan,
keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha
yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan
barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang
mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18
ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan
mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang
sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan
yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha
periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko
pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar
oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku
usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap
nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan
klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya.
Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar
adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah,
padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal
tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun
1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun
penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu
banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata :
• Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan
• Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar
Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
• Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8,
9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal
11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
• Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
• Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha;
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER: