ASPEK
HUKUM PERBANKAN DAN ASURANSI
Pengertian Hukum Perbankan
Hukum Perbankan adalah
Serangkaian Norma Hukum Positif Yang Mengatur tentang Segala Sesuatu Yang
Berkaitan dengan Lembaga Bank.
Kajian Utama Hukum Perbankan
Tentang kelembagaan Bank
Tentang Kegiatan Usaha Bank
Tentang Proses dan Cara Dalam
Melakukan Kegitan
Pasal 1 Angka 1 UU No. 10 Tahun
1998
“ Perbankan adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank,mencakup kelembagaab,kegiatanusaha,serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usaha”
Unsur-Unsur Hukum Perbankan
Sebagai Hukum positif,tertulis
maupun tidak tertulis
Ketentuan hukum perbankan
mengatur Ketatalaksanaan Kelembagaan Bank
Ketentuan Hukum Perbankan Juga
Mengatur Aspek-aspek Kegiatan Usaha
Sifat Hukum Perbankan
Hukum Perbankan Bersifat Sektoral
dan Fungsional yang Meniadakan Batas-batas antara Hukum Publik dan Hukum Privat
yang ruang Lingkupnya Meliputi Berbagai aspek hukum
- Hukum Adsministrasi
- Hukum Perdata
- Hukum Dagang
- Hukum Pidana
- Hukum Internasional
Hukum Perbankan
Hukum perbankan mempunyai sifat
sebagai hukum pemaksa (Dwingen recht),ketentuan-ketentuan hukum perbankan wajib
ditaati dan tidak dapat disimpangi sedikitpun dalam penerapannya
Sumber-Sumber Hukum Perbankan
Sumber Hukum dalam arti sumber
material
Sumber Hukum dalam arti sumber
formal
Sumber Hukum Material
Aspek Ekonomi
Aspek sejarah
Aspek Sosiologi
Aspek Filosofi
Aspek Yuiridis
Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum tertulis
Sumber Hukum tidak tertulis
Sumber hukum tertulis
- Undang-undang No.7 Tahun 1992 Jo undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
- Undang-undang No.23 tahun 1999 JoUndang-undang No.3 Tahun 2004 Tentang Bank indonesia
- Undang-undang No.24 Tahun 1999 Tentang Lalulintas Devisa dan sistem Nili Tukar
- KUHPerdata (B.W) Buku II dan Buku Ke III
- KUHDagang (W.V.K)Khususnya Buku I tentang Surat-surat berharga
- Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang
- Undang-undang No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah
- Undang-Undang No. 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian
- Undang-undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization
- Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
- Undang-undang No. 8 Tentang Pasar Modal
- Undang-undang No.9 Tentang Usaha Kecil
- Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besreta benda-benda yang Berkaitan dengan tanah
Sumber Hukum Tidak Tertulis
Yurisprudensi
Konvensi (Kebiasaan)
Doktrin (ilmu Pengetahuan)
Perjanjian-perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam kegiatan perbankan.
Prinsip
Perbakan
Dalam
hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip
kepercayaan ( fiduciary relation principle ), prinsip
kehati-hatian (prudential principle ), prinsip kerahasiaan ( secrecy
principle), dan prinsip mengenal nasabah ( know how costumer
principle )
Prinsip
Kepercayaan ( fiduciary relation
principle )
Prinsip
kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah
bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan,
sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara
dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam
Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 1998.
Prinsip Kehatihatian
( prudential principle )
Prinsip
kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan
kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada
masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian
ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan
mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia
perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU
No 10 tahun 1998.Prinsip Kerahasiaan ( secrecy principle)
Prinsip kerahasiaan
Bank
diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU No 10 Tahun 1998. Menurut
Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan
tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal
untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan
kepada badan Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata
antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar
bank.
Prinsip Mengenal
Nasabah ( know how costumer
principle )
Prinsip
mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk
melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/1 0/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip
mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai
kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai
kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas
illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
Asas,
Fungsi, dan Tujuan Perbankan Indonesia
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Demokrasi ekonomi itu sendiri dilaksanakan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Berdasarkan
asas yang digunakan dalam perbankan, maka tujuan perbankan Indonesia
adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, pertumbuhan ekonomi,
dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Berdasarkan
UU No. 10 Tahun 1998, fungsi bank di Indonesia adalah:
a.
Sebagai tempat menghimpun dana dari masyarakat Bank bertugas mengamankan uang
tabungan dan deposito berjangka serta simpanan dalam rekening koran atau giro.
Fungsi
tersebut merupakan fungsi utama bank.
b.
Sebagai penyalur dana atau pemberi kredit Bank memberikan kredit bagi
masyarakat yang membutuhkan terutama untuk usaha-usaha produktif.
DEFINISI
DAN UNSUR ASURANSI
Menurut
Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan
mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen(peristiwa
tidak pasti).
Menurut
Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992 tentang
Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan
definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian
dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun
dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat
untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut
Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst)
adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua
pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum
tentu”.
Beberapa
hal penting mengenai asuransi:
- Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
- Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
- Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
- Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
- Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
- Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
- Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
- Tujuan yang ingin dicapai;
- Resiko dan premi;
- Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
- Syarat-syarat yang berlaku;
- Polis asuransi.
TUJUAN
ASURANSI
a. Pengalihan
Risiko
Tertanggung
mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta
kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan
asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
b. Pembayaran
Ganti Kerugian
Jika
suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian
(risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan
ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam
prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss),
tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian,
tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti
kerugian yang sungguh–sungguh diderita.
Dalam
pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi
(diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si berpiutang
(tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang
membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena
persetujuan maupun karena undang-undang.
Berlakunya
Asuransi
Hak
dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi
walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya
dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak
sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai
ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan
asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD).
Polis Asuransi
1. Fungsi
Polis
Menurut
ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam
bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus
dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para
pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan
demikian, polismerupakan alat bukti tertulis tentang telah
terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat
fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya Tertanggung)
wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung
kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat
menimbulkan perselisihan (dispute).
2. Isi
Polis
Menurut
ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus
memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a.
Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b. Nama
tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c.
Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d.
Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e.
Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f.
Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g.
Premi asuransi;
h.
Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala
janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain
mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen)
yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau
pemegang hak.
Untuk
jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya
harus pula menyebutkan:
- Letak barang tetap serta batas-batasnya;
- Pemakaiannya;
- Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
- Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
- Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk
mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu
diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
- Bencana yang ditutup;
- Yang ditutup;
- Kerugian yang ditutup;
- Orang-orang yang ditutup;
- Lokasi-lokasi yang ditutup;
- Jangka waktu yang ditutup;
- Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
3. Jenis
Klausula Asuransi
Dalam
perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara
tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk
mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian
apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi
tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam
setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:
a.
Klausula Premier Risque
Klausula
ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi
kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum
jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa
digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
b.
Klausula All Risk
Klausula
ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang
diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul
akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan
tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal
249 KUHD).
c. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula
ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang merupakan
kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
d. Klausula
Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula
ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa penanggung
sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang
diasuransikan.
e. Klausula
Renunsiasi (Renunciation)
Menurut
Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan alasan pasal 251
KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakuan
secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila
timbul kerugian akibatevenemen tertanggung tidak memberitahukan
keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan
mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian
kepada tertanggung.
f.Klausula Free
Particular Average (FPA)
Bahwa
penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat
peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam
pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian
yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa
khusus yang sudah dibebaskan klausula FPA.
g. Klausula Riot,
Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan)
adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang dalam
melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum
dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang
lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan)
adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja, minimal 12
orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah seluruh
pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam
usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan
protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh
majikan.
Civil
Commotion (huru-hara)
adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara bersama-sama
atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan
masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan
pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga timbul
ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan
normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau
transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus
yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
4. Hal
yang harus diperhatikan:
Banker’s
Clause atau
Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya
dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara tegas
dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas peristiwa
yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian
asuransi (polis).
Klausula
ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur dan
Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga
klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis.
JENIS
ASURANSI
Asuransi
pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi Kerugian dan
Asuransi Jiwa.
1. Asuransi
Kerugian terdiri dari:
a.
Asuransi Kebakaran;
b.
Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c.
Asuransi laut;
d.
Asuransi Pengangkutan;
e.
Asuransi Kredit.
2. Asuransi
Jiwa terdiri dari
a.
Asuransi Kecelakaan;
b.
Asuransi Kesehatan;
c.
Asuransi Jiwa Kredit.
BATALNYA
ASURANSI
Suatu
pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu perjanjian
maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila
tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
Selain
itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
Memuat
keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan
kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut
(Pasal 251 KUHD);
Memuat
suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal
269 KUHD);
memuat
ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal
272 KUHD);
Terdapat
suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282
KUHD);
Apabila
obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh
diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing yang
digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan
perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
SANKSI
Terhadap
pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan
sanksi berupa:
- Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung); dan
- Sanksi Pidana.
1. Sanksi
Administratif
Setiap
Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan pelaksanaannya yang
berkenaan dengan:
- Perizinan usaha;
- Kesehatan keuangan;
- Penyelenggaraan usaha;
- Penyampaian laporan;
- Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan
sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin
usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa
mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan
tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan
denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan;
Perusahaan
Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan
laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan
dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
2. Sanksi
Pidana
Sanksi
pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU
Asuransi, berikut ini:
a. Terhadap
pelaku utama
Orang
yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha,
menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan,
dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau
Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000
(dua milyar lima ratus juta Rupiah).
b. Terhadap
pelaku pembantu
Orang
yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali kekayaan
perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut
diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).
c.
Terhadap pemalsu dokumen
Orang
yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas dokumen
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.
250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
Kasus
Usut
Penyelewengan Kekuasaan dan Mafia Perbankan dibalik Skandal Century
Proses politik melalui Pansus Angket Century dan proses hukum dinilai sedang berjalan di jalur lambat. Meskipun pansus sudah berencana akan memanggil sejumlah aktor kunci dibidang perbankan, kita masih tetap perlu khawatir dengan kemungkinan berulangnya “politik transaksional”.
Sedangkan proses hukum, baik yang sedang berjalan di Kepolisian dan Kejaksaan untuk Pidana Umum dan Pidana perbankan juga belum memberi harapan. Meskipun Robert Tantular sudah diputus bersalah di persidangan, akan tetapi sejumlah ganjalan seperti “pengembalian aset Century untuk negara”, jerat hukum untuk aktor utama mafia perbankan, dan pengusutan lebih jauh masih “jauh panggang dari api”. Menurut kami, Hasil Pemeriksaan BPK No. 64/LHPXVI/11/2009 dan sejumlah informasi PPATK juga dapat digunakan Kepolisian dan Kejaksaan, namun khusus kasus yang terkait dengan Pencucian Uang, Pidana Perbankan dan Pidana Umum. Untuk pidana korupsi, sebaiknya ditangani oleh KPK.
Jangan lindungi
Satu catatan awal yang seharusnya diyakini dalam upaya membongkar kasus Century adalah kesepahaman bahwa tidak boleh ada satu orangpun yang dianggap pasti bersih dan pasti tidak bersalah dalam skandal besar ini. Catatan ini bukan datang tiba-tiba. Sejumlah fakta sosial, baik yang sengaja ataupun tidak sengaja dibentuk menunjukkan adanya poros-poros kekuatan yang diduga mencoba melindungi pihak-pihak tertentu. Sepatutnya kita semua sepaham dengan konsepsi “equality before the law”, dan keyakinan bahwa kejahatan hanya bisa diberantas jika mastermind atau pelaku utamanya ditangkap dan diadili.
Oleh karena itulah, dugaan penyalahgunaan kewenangan dibalik kebijakan bailout Bank Century dengan konsekuensi pengucuran Keuangan Negara melalui LPS senilai Rp. 6,7 triliun tetaplah harus menjadi dasar pengusutan lebih jauh. Sehingga, sejumlah penyelenggara negara baik di Bank Indonesia, KSSK, LPS, Bank dan Bapepam, termasuk para bankir dan deposan di Bank Century haruslah tidak diberikan proteksi politik ataupun previlage. Hal ini penting ditegaskan, karena memang para otoritas politik dan berbagai pihak sudah mulai menunjukkan sinyal akan melindungi pihak-pihak tertentu. ICW pun akan terus mendesak pengusutan semua pihak yang terlibat tanpa pandang bulu, sehingga tidak melindungi dan memberikan keistimewaan terhadap pihak manapun.
Dari aspek pidana korupsi, tentu saja keberanian dan independensi KPK sangat diharapkan publik. Sepatutnya KPK meyakini, bahwa sebuah pelanggaran hukum, perampokan uang negara tidak mungkin dilakukan secara asal-asalan dan tanpa perencanaan yang matang. Karena dari banyak kasus korupsi sejak era orde baru, mudah terbaca, bahwa kadang korupsi atau sebuah kejahatan dibungkus oleh kebijakan, regulasi atau aturan hukum sehingga ia terlihat benar.
Di era saat ini, tentu saja modus-modus tersebut sepatutnya tidak lagi bisa menipu penegak hukum dan masyarakat luas. Karena itulah, jika kita ingin skandal Century dibongkar, maka kita tidak boleh menutup mata dari kemungkinan terjeratnya para pengambil kebijakan baik di lingkaran Eksekutif, Bank Indonesia atapun pihak lainnya. Apalagi, doktrin hukum pidana saat ini sudah tidak lagi menganut asas “kebijakan tidak bisa dipidana”. Bahkan, kebijakan KSSK memberikan FPJP justru sangat mungkin disebut rangkaian tindak pidana (korupsi) jika dapat dibuktikan bahwa si pengambil kebijakan mengetahui kemungkinan akibat penyalahgunaan dana bailout Bank Century tersebut. Hal ini bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan sederhana pada pengambil kebijakan tersebut, “apakah mereka tidak mengetahui praktik mafia dan kasus perbankan yang sudah terjadi berulang kali dengan modus yang sama?”. Selain itu, seharusnya pengambil kebijakan juga tahu persis kondisi Bank Century yang dari awal sudah tak sehat dan penuh masalah. Sehingga, dapat diprediksikan, pengucuran dana talangan hanya akan membebani keuangan negara.
Mafia Perbankan
Dunia perbankan dinilai sebagai wilayah yang sangat basah bagi praktek korupsi. Kasus Century bukanlah kasus yang tiba-tiba terjadi dan benar-benar baru. Mencermati audit BPK No. No.64/LHP/XV/11/2009 jelas terlihat sebelum debat bailout soal alasan sistemik terjadi, ada deretan pelanggaran aturan yang dilakukan dalam kegiatan perbankan di Century sejak lama.
Kasus dengan varian yang sama pernah terjadi dalam mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BDNI; dan Bank Bali yang bahkan sempat menjerat mantan Gubernur BI serta sejumlah dugaan aliran dana politik. Kasus Bank Global tahun 2004 pun memperlihatkan variasi yang sejenis. Dimulai dari pemalsuan reksadana, direktur bank kemudian melarikan uang hingga Rp. 500 miliar ke luar negeri. Isu dana politik menjadi hal terhangat yang dibicarakan saat itu.
Satu hal yang mirip dengan skandal Bank Century adalah para nasabah yang ternyata terdiri dari BUMN besar di Indonesia. Saat itu, adagium yang lekat di BUMN adalah “sapi perahan” politisi. Entah kenapa BUMN sangat antusias menanamkan uang negara pada bank yang diragukan kredibilitasnya.
Namun, nasib Bank Global tidaklah sebaik Century. Dengan “dosa” yang relatif ringan dibanding Bank Century, akhirnya BI menyatakan mencabut izin Bank Global (13/1/2005). Kemudian sejumlah pihak dijerat secara berlapis dengan UU tindak pidana korupsi dan perbankan.
Benang merah praktek mafia perbankan tersebut, ternyata tidak lepas dari sejumlah pejabat penting di BI. Kasus terakhir yang masih diingat persis oleh publik adalah penyalahgunaan Rp. 100 miliar anggaran YPPI. KPK dan Pengadilan Tipikor bahkan telah menyeret mantan Gubernur BI, Deputi Gubernur BI, sejumlah direktur BI, dan anggot DPR-RI.
Khusus untuk skandal Century, apakah para mafia perbankan masih menjadi aktor utama dibalik kebijakan dan pelanggaran disana? Pansus dan penegak hukum sepatutnya melihat secara cermat kemungkinan ini. Karena jika kita mampu mengungkap mafia perbankan, khususnya di BI, sesungguhnya kita tidak hanya sedang menyelesaikan satu kasus Century saja. Tetapi, telah meminimalisir potensi kembali terjadinya perampokan dan korupsi di sektor perbankan.
KPK Perlu Usut
Khusus untuk KPK, harus diakui lembaga ini memang tidak mungkin menjerat kejahatan atau pelanggaran diluar ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya, pasal 2 dan 3 UU tersebut perlu menjadi prioritas analisis KPK.
Kita menyambut positif pernyataan wakil Ketua KPK, Bibit Samad R. yang mengatakan ada tiga kemungkinan korupsi Century yang bisa dijerat KPK:
1. Alasan penentuan Bank Century sebagai bank Gagal berdampak Sistemik. Bagian ini sangat terkait dengan kebijakan KSSK dan kebenaran asupan data dari Bank Indonesia. Jika terbukti, data yang diberikan tidak benar atau terjadi pengaburan dan penipuan dengan tujuan agar kebijakan KSSK menguntungkan pihak tertentu, maka poin ini menjadi sangat strategis ditangani oleh KPK.
2. Penyerahan penanganan Bank Century pada Komite Koordinasi (KK).
3. Ada atau tidaknya dasar hukum jumlah Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk Bank Century
Pemberian FPJP dengan mengubah ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal syarat minimum CAR sebuah Bank agar dapat dibantu sepatutnya juga menjadi konsern KPK. Akan tetapi, KPK dinilai tetap perlu melihat kronologis Bank Century sejak proses merger dilakukan. Karena, untuk menemukan apakah perbuatan berlanjut atau “rangkaian tindak pidana korupsi” terjadi dibalik penyelamatan Century, KPK perlu tahu persis sejumlah keganjilan dan praktek tak sehat disana. Terutama, terkait dengan pertanyaan, kenapa sejumlah BUMN merasa sangat nyaman menyimpan uangnya di sebuah bank bermasalah. Padahal, keuangan BUMN juga termasuk keuangan negara sehingga jika ada pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara, para pimpinan BUMN tersebut juga bisa dijerat tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, kami:
1. Mengajak semua kalangan, baik penegak hukum, politisi, penyelengara negara dan kalangan masyarakat untuk tidak terjebak dan tidak ikut pada upaya memberikan privilege atau proteksi politik terhadap orang-orang tertentu disekitar Skandal Century;
2. Meminta KPK mengusut Century dengan menjerat Aktor utama atau mastermind mulai dari “drama” kebijakan bailout Century;
3. Meminta Kepolisian dan Kejaksaan memaksimalkan pengusutan Pidana Perbankan, Pencucian Uang dan Pidana Umum terkait skandal Century, serta menyerahkan penanganan Kasus Korupsi ke KPK.
Jakarta, 05 Januari 2010
Indonesia Corruption Watch
sumber : http://antikorupsi.org/
Proses politik melalui Pansus Angket Century dan proses hukum dinilai sedang berjalan di jalur lambat. Meskipun pansus sudah berencana akan memanggil sejumlah aktor kunci dibidang perbankan, kita masih tetap perlu khawatir dengan kemungkinan berulangnya “politik transaksional”.
Sedangkan proses hukum, baik yang sedang berjalan di Kepolisian dan Kejaksaan untuk Pidana Umum dan Pidana perbankan juga belum memberi harapan. Meskipun Robert Tantular sudah diputus bersalah di persidangan, akan tetapi sejumlah ganjalan seperti “pengembalian aset Century untuk negara”, jerat hukum untuk aktor utama mafia perbankan, dan pengusutan lebih jauh masih “jauh panggang dari api”. Menurut kami, Hasil Pemeriksaan BPK No. 64/LHPXVI/11/2009 dan sejumlah informasi PPATK juga dapat digunakan Kepolisian dan Kejaksaan, namun khusus kasus yang terkait dengan Pencucian Uang, Pidana Perbankan dan Pidana Umum. Untuk pidana korupsi, sebaiknya ditangani oleh KPK.
Jangan lindungi
Satu catatan awal yang seharusnya diyakini dalam upaya membongkar kasus Century adalah kesepahaman bahwa tidak boleh ada satu orangpun yang dianggap pasti bersih dan pasti tidak bersalah dalam skandal besar ini. Catatan ini bukan datang tiba-tiba. Sejumlah fakta sosial, baik yang sengaja ataupun tidak sengaja dibentuk menunjukkan adanya poros-poros kekuatan yang diduga mencoba melindungi pihak-pihak tertentu. Sepatutnya kita semua sepaham dengan konsepsi “equality before the law”, dan keyakinan bahwa kejahatan hanya bisa diberantas jika mastermind atau pelaku utamanya ditangkap dan diadili.
Oleh karena itulah, dugaan penyalahgunaan kewenangan dibalik kebijakan bailout Bank Century dengan konsekuensi pengucuran Keuangan Negara melalui LPS senilai Rp. 6,7 triliun tetaplah harus menjadi dasar pengusutan lebih jauh. Sehingga, sejumlah penyelenggara negara baik di Bank Indonesia, KSSK, LPS, Bank dan Bapepam, termasuk para bankir dan deposan di Bank Century haruslah tidak diberikan proteksi politik ataupun previlage. Hal ini penting ditegaskan, karena memang para otoritas politik dan berbagai pihak sudah mulai menunjukkan sinyal akan melindungi pihak-pihak tertentu. ICW pun akan terus mendesak pengusutan semua pihak yang terlibat tanpa pandang bulu, sehingga tidak melindungi dan memberikan keistimewaan terhadap pihak manapun.
Dari aspek pidana korupsi, tentu saja keberanian dan independensi KPK sangat diharapkan publik. Sepatutnya KPK meyakini, bahwa sebuah pelanggaran hukum, perampokan uang negara tidak mungkin dilakukan secara asal-asalan dan tanpa perencanaan yang matang. Karena dari banyak kasus korupsi sejak era orde baru, mudah terbaca, bahwa kadang korupsi atau sebuah kejahatan dibungkus oleh kebijakan, regulasi atau aturan hukum sehingga ia terlihat benar.
Di era saat ini, tentu saja modus-modus tersebut sepatutnya tidak lagi bisa menipu penegak hukum dan masyarakat luas. Karena itulah, jika kita ingin skandal Century dibongkar, maka kita tidak boleh menutup mata dari kemungkinan terjeratnya para pengambil kebijakan baik di lingkaran Eksekutif, Bank Indonesia atapun pihak lainnya. Apalagi, doktrin hukum pidana saat ini sudah tidak lagi menganut asas “kebijakan tidak bisa dipidana”. Bahkan, kebijakan KSSK memberikan FPJP justru sangat mungkin disebut rangkaian tindak pidana (korupsi) jika dapat dibuktikan bahwa si pengambil kebijakan mengetahui kemungkinan akibat penyalahgunaan dana bailout Bank Century tersebut. Hal ini bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan sederhana pada pengambil kebijakan tersebut, “apakah mereka tidak mengetahui praktik mafia dan kasus perbankan yang sudah terjadi berulang kali dengan modus yang sama?”. Selain itu, seharusnya pengambil kebijakan juga tahu persis kondisi Bank Century yang dari awal sudah tak sehat dan penuh masalah. Sehingga, dapat diprediksikan, pengucuran dana talangan hanya akan membebani keuangan negara.
Mafia Perbankan
Dunia perbankan dinilai sebagai wilayah yang sangat basah bagi praktek korupsi. Kasus Century bukanlah kasus yang tiba-tiba terjadi dan benar-benar baru. Mencermati audit BPK No. No.64/LHP/XV/11/2009 jelas terlihat sebelum debat bailout soal alasan sistemik terjadi, ada deretan pelanggaran aturan yang dilakukan dalam kegiatan perbankan di Century sejak lama.
Kasus dengan varian yang sama pernah terjadi dalam mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BDNI; dan Bank Bali yang bahkan sempat menjerat mantan Gubernur BI serta sejumlah dugaan aliran dana politik. Kasus Bank Global tahun 2004 pun memperlihatkan variasi yang sejenis. Dimulai dari pemalsuan reksadana, direktur bank kemudian melarikan uang hingga Rp. 500 miliar ke luar negeri. Isu dana politik menjadi hal terhangat yang dibicarakan saat itu.
Satu hal yang mirip dengan skandal Bank Century adalah para nasabah yang ternyata terdiri dari BUMN besar di Indonesia. Saat itu, adagium yang lekat di BUMN adalah “sapi perahan” politisi. Entah kenapa BUMN sangat antusias menanamkan uang negara pada bank yang diragukan kredibilitasnya.
Namun, nasib Bank Global tidaklah sebaik Century. Dengan “dosa” yang relatif ringan dibanding Bank Century, akhirnya BI menyatakan mencabut izin Bank Global (13/1/2005). Kemudian sejumlah pihak dijerat secara berlapis dengan UU tindak pidana korupsi dan perbankan.
Benang merah praktek mafia perbankan tersebut, ternyata tidak lepas dari sejumlah pejabat penting di BI. Kasus terakhir yang masih diingat persis oleh publik adalah penyalahgunaan Rp. 100 miliar anggaran YPPI. KPK dan Pengadilan Tipikor bahkan telah menyeret mantan Gubernur BI, Deputi Gubernur BI, sejumlah direktur BI, dan anggot DPR-RI.
Khusus untuk skandal Century, apakah para mafia perbankan masih menjadi aktor utama dibalik kebijakan dan pelanggaran disana? Pansus dan penegak hukum sepatutnya melihat secara cermat kemungkinan ini. Karena jika kita mampu mengungkap mafia perbankan, khususnya di BI, sesungguhnya kita tidak hanya sedang menyelesaikan satu kasus Century saja. Tetapi, telah meminimalisir potensi kembali terjadinya perampokan dan korupsi di sektor perbankan.
KPK Perlu Usut
Khusus untuk KPK, harus diakui lembaga ini memang tidak mungkin menjerat kejahatan atau pelanggaran diluar ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya, pasal 2 dan 3 UU tersebut perlu menjadi prioritas analisis KPK.
Kita menyambut positif pernyataan wakil Ketua KPK, Bibit Samad R. yang mengatakan ada tiga kemungkinan korupsi Century yang bisa dijerat KPK:
1. Alasan penentuan Bank Century sebagai bank Gagal berdampak Sistemik. Bagian ini sangat terkait dengan kebijakan KSSK dan kebenaran asupan data dari Bank Indonesia. Jika terbukti, data yang diberikan tidak benar atau terjadi pengaburan dan penipuan dengan tujuan agar kebijakan KSSK menguntungkan pihak tertentu, maka poin ini menjadi sangat strategis ditangani oleh KPK.
2. Penyerahan penanganan Bank Century pada Komite Koordinasi (KK).
3. Ada atau tidaknya dasar hukum jumlah Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk Bank Century
Pemberian FPJP dengan mengubah ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal syarat minimum CAR sebuah Bank agar dapat dibantu sepatutnya juga menjadi konsern KPK. Akan tetapi, KPK dinilai tetap perlu melihat kronologis Bank Century sejak proses merger dilakukan. Karena, untuk menemukan apakah perbuatan berlanjut atau “rangkaian tindak pidana korupsi” terjadi dibalik penyelamatan Century, KPK perlu tahu persis sejumlah keganjilan dan praktek tak sehat disana. Terutama, terkait dengan pertanyaan, kenapa sejumlah BUMN merasa sangat nyaman menyimpan uangnya di sebuah bank bermasalah. Padahal, keuangan BUMN juga termasuk keuangan negara sehingga jika ada pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara, para pimpinan BUMN tersebut juga bisa dijerat tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, kami:
1. Mengajak semua kalangan, baik penegak hukum, politisi, penyelengara negara dan kalangan masyarakat untuk tidak terjebak dan tidak ikut pada upaya memberikan privilege atau proteksi politik terhadap orang-orang tertentu disekitar Skandal Century;
2. Meminta KPK mengusut Century dengan menjerat Aktor utama atau mastermind mulai dari “drama” kebijakan bailout Century;
3. Meminta Kepolisian dan Kejaksaan memaksimalkan pengusutan Pidana Perbankan, Pencucian Uang dan Pidana Umum terkait skandal Century, serta menyerahkan penanganan Kasus Korupsi ke KPK.
Jakarta, 05 Januari 2010
Indonesia Corruption Watch
sumber : http://antikorupsi.org/
Pada kasus asuransi kematian,
calon peserta diminta untukmemasukkan data kesehatannya, dengan atau
tanpa pemeriksaan kesehatan sebelumnya, yang akan dijadikan data awal kesehatan
peserta. Polis suatu asuransi jiwa
umumnya memberlakukan ketentuan tertentu sebagai persyaratan, pembatasan dan
pengecualian pertanggungan. Ketidakjujuran dalam mengisi data awal, cara
kematian tertentu yang merupakan pengecualian (pada kasus asuransi jiwa), cara kematian
yang bukan persyaratan (pada kasus asuransi kecelakaan), pemalsuan sebab
kematian atau pemalsuan ahli waris, dan pemalsuan identitas tertanggung, adalah
sebagian alasan yang dapat mengakibatkan tidak dapat diklaimnya pertanggungan
akan suatu kasus asuransi tertentu.
Peserta asuransi kematian yang
memiliki data kesehatan “normal” atau memiliki jumlah pertanggungan yang
“besar” dan kemudian mendadak meninggal dunia tidak lama setelah penutupan
asuransi biasanya merupakan kasus asuransi yang layak diteliti (suspicious
death or contestable death claim). Kecurigaan adanya fraud (penipuan) atau
abuse (penyalah gunaan) semakin menguat apabila sebab kematiannya ternyata
adalah penyakit fatal yang telah menahun / kronik, atau sebab kematiannya
menjurus ke arah kesengajaan.
Dalam penyelesaian klaim terhadap
kasus asuransi kematian terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu
(1) adanya penutupan polis asuransi kematian bagi tertanggung, (2) meninggalnya
si tertanggung, dan (3) bukti bahwa benar tertanggung telah meninggal.
Fakta menunjukkan bahwa
sertifikat kematian cukup mudah diperoleh oleh karena tidak adanya ketentuan
di Indonesia yang mengatur tentang kewajiban pemeriksaan jenasah untuk
kepentingan sertifikasi kematian dan tidak adanya lembaga khusus yang berwenang
menerbitkan sertifikat kematian.
Pemeriksaan autopsi forensik
harus dilakukan untuk memperoleh sebab kematian yang pasti akan kasus asuransi
tersebut, yang kemudian dapat membawa ke kesimpulan tentang cara kematiannya –
apakah terdapat unsur kesengajaan.
Forensik RS Polpus RS Soekanto
freeweb . com
sumber: